wonderfull cha

wonderfull cha
anak shalehah, cerdas dan lembut hati

Senin, 10 September 2012

Perlukah BAYI bersekolah???

MEMANG agak sulit mencari jumlah pasti berapa angka pertumbuhan bisnis taman bermain di Jakarta, apalagi di Indonesia. Meskipun begitu, bila kita agak sedikit menaruh perhatian, secara kasat mata jumlahnya terus bertambah. Kesan ini diperkuat oleh penjelasan Melania Hamdan, Ketua Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika yang memiliki taman bermain Tutor Time untuk usia 1-6 tahun di Kemang dan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tahun ini, tiba-tiba permintaan mendapatkan wara laba taman bermain yang berpusat di Florida, Amerika Serikat, ini meningkat. Lokasi yang baru berdiri tahun ini ada di Bandung, Puri Indah, Pondok Indah, dan akan segera di Pluit, Jakarta Utara. Baru sebulan dibuka, sudah 17 anak mendaftar di Tutor Time Pondok Indah. “Mungkin karena ekonomi booming lagi sehingga yang berminat pada taman bermain seperti ini meningkat. Ini juga karena keinginan orangtua memberikan yang terbaik untuk anaknya,” kata Melania. Sependapat dengan pengamatan Melania adalah Anggani Sudono. Praktisi dan pengamat pendidikan ini mengatakan, munculnya taman-taman bermain dengan pesat belakangan ini karena permintaan masyarakat. Begitu juga dengan taman bermain yang menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dra Tjut Rifameutia U Ali-Nafis, MA, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, melihat semakin banyaknya pasangan muda yang dua-duanya bekerja dan hubungan dengan lingkungan sekitar yang tidak akrab seperti di kota-kota besar, membuat taman bermain menjadi kebutuhan pasangan muda. “Itu peluang bisnis, namun dalam menjalankan bisnis sebaiknya yayasan menjalankannya dengan serius dan benar. Misalnya, bila ingin menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, gunakan pengajar yang bisa berbicara Inggris dengan benar dan baik. Jika bahasa Inggris hanya sebagai daya tarik dan untuk gaya-gayaan, hal itu justru akan merusak kemampuan berbahasa anak,” jelas Rifameutia. *** SALAH satu daya tarik yang banyak ditawarkan taman bermain saat ini adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar. Alasan orangtua umumnya karena mereka ingin mempersiapkan anaknya sedini mungkin menghadapi masa depan. Masa depan lalu diterjemahkan antara lain dengan sedini mungkin menguasai bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris (baca juga halaman 13). Keinginan itu barangkali tidak berlebihan karena setiap hari kita memang dicekoki berbagai jargon seputar globalisasi: Pasar bebas, AFTA, saluran MTV, film Hollywood, makanan mulai dari steak sampai burger. Bahkan, percakapan sehari-hari pun terasa kurang keren bila tidak menyisipkan bahasa Inggris, tidak peduli apakah pemilihan kalimat atau katanya tepat atau tidak. Karena itu, bukanlah hal aneh bila anak-anak yang dimasukkan ke taman bermain itu tidak selalu berasal dari keluarga yang bisa berbahasa Inggris. Seperti dikatakan Cynthia Moeljono, koordinator sekolah Tutor Time Pondok Indah, ada orangtua yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris menyekolahkan anaknya di Tutor Time yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, baik itu keluarga Indonesia maupun warga asing yang bekerja di sini. “Tetapi, tidak apa-apa, karena anak belajar melalui bermain,” kata Cynthia. Anggani Sudono yang mengajar di Jakarta International School di Jakarta Selatan dari tahun 1964-1990 mengatakan, memang ada hasil penelitian yang menyebutkan makin dini anak diperkenalkan dengan bahasa semakin cepat anak menguasai. Akan tetapi, secara prinsip ia lebih memilih anak menguasai bahasa ibunya dengan baik sebelum diperkenalkan pada bahasa lain. Anggani berpendapat, hal itu penting supaya anak tidak mengalami “kebingungan bahasa” yang akan terbawa sampai besar karena tiap bahasa memiliki logikanya sendiri. Bila memang orangtua memutuskan memasukkan anaknya sejak dini di taman bermain yang menggunakan pengantar bahasa Inggris, sekolah maupun orangtua harus konsisten menggunakan kedua bahasa itu. “Jangan dicampur-campur, misalnya dengan bilang ‘Ini red book,’” jelas Anggani. Logika berbahasa ini bisa mempengaruhi anak sampai ke usia lebih lanjut, artinya mungkin saja anak bisa mengucapkan kata-kata bahasa Inggris dengan baik dan tampak mampu menyusun kalimat berbahasa Inggris, tetapi logika berbahasanya tidak mengikuti logika bahasa Inggris. Hal yang sama juga bisa terjadi pada bahasa Indonesianya. Padahal, seseorang dinilai dari kemampuannya berkomunikasi. Menurut Anggani, bila sekolah sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, maka orangtua di rumah harus aktif membantu anaknya. Misalnya, menentukan satu waktu tertentu dalam sehari sebagai saat berbahasa Inggris dan anak menyadari saat itu ia sedang berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Orangtua juga bisa membantu membacakan buku cerita berbahasa Inggris. “Tetapi, saat tiba berbahasa Indonesia, berkomunikasilah dengan bahasa Indonesia yang benar dan anak tahu bahwa dia sedang berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,” tambah Anggani yang juga menjadi anggota Badan Pembina Akademik Perguruan Islam Al Izhar di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sedangkan Rifameutia mengatakan, anak memang memiliki potensi belajar bahasa yang luar biasa, bahkan mampu menguasai tiga bahasa sekaligus. Namun, syaratnya saat mengenalkan sebuah bahasa, harus konsisten menggunakan bahasa itu setiap berkomunikasi dengan anak. “Pemakaian bahasa itu pun harus benar,” tambah Rifameutia. Selain itu, jangan menekankan sisi kognitif. “Misalnya, ‘Merah itu bahasa Inggrisnya red.’ Itu salah sama sekali.” *** SEBENARNYA ada hal-hal lain yang lebih penting yang harus diperhatikan orangtua ketika memilih taman bermain, yaitu mencocokkan antara tujuan orangtua memasukkan anak ke taman bermain dan fasilitas yang disediakan taman bermain bersangkutan. “Seberapa mendesak anak dimasukkan ke taman bermain dan pada usia berapa, sangat tergantung dari orangtua. Jika orangtua merasa tidak bisa memberikan stimulus (rangsangan) untuk perkembangan anaknya, dia bisa memasukkan anaknya ke taman bermain. Namun, jika orangtua mampu memberikan sendiri stimulus itu, maka tidak terlalu mendesak memasukkan anak ke taman bermain. Anak yang diasuh sendiri oleh orangtuanya bisa berkembang sama baiknya dengan anak yang dimasukkan ke taman bermain,” kata Rifameutia. Kelebihan anak yang dimasukkan ke taman bermain sejak dini adalah kemampuan bersosialisasi yang lebih cepat dibandingkan anak yang diberi stimulus hanya oleh orangtuanya di rumah saja. “Namun, bukan berarti anak yang dipegang sendiri oleh orangtuanya tidak bisa mengejar kemampuan itu. Hanya pada awalnya saja anak lulusan taman bermain lebih cepat bersosialisasi,” tambah Rifameutia. Di tengah belantara tawaran dan iklan taman bermain, orangtua perlu hati-hati memilih. Jangan hanya melihat bentuk fisik bangunan dan fasilitas, tetapi yang lebih penting bagaimana para “guru” di taman bermain “mengajar” anak-anak balita itu. Kelompok bermain yang baik menurut Anggani adalah yang memberikan program sesuai kebutuhan anak. Pada taman bermain penekanannya adalah pembiasaan kegiatan sehari-hari misalnya berlatih menggunakan toilet, duduk pada saat makan, mencuci tangan sebelum makan, dan berbagai pembiasaan lain. “Pada usia 2-3 tahun, fasilitator tidak menuntut anak-anak agar bisa ini-itu. Yang penting dia bisa dekat dengan anak sehingga anak merasa aman, lalu misalnya anak-anak bisa bilang ketika ingin kencing,” tutur Anggani. Beberapa syarat yang harus dipenuhi taman bermain seperti yang muncul dalam pertemuan World Forum on Early Childhood Education di Selandia Baru yang diikuti Anggani baru-baru ini antara lain taman bermain harus menjamin peningkatan kesehatan dan keamanan anak. Pelayanan diberikan dalam kelompok kecil dengan rasio ideal satu fasilitator untuk lima anak. Tugas utama taman bermain adalah pengasuhan dan pendidikan yang harus dilakukan konsisten. “Artinya, tidak bisa sekarang fasilitator mengatakan sebelum makan harus cuci tangan, lain kali tidak apa-apa bila anak tidak cuci tangan,” tambah Anggani. Yang perlu diperhatikan juga adalah pengasuhan harus sesuai kebutuhan anak, misalnya disesuaikan dengan umur anak. Memberi pelatihan linguistik dan kebudayaan yang berkesinambungan, yaitu menggunakan bahasa yang benar, mengucapkan terima kasih bila menerima sesuatu. “Jangan gunakan ‘bahasa bayi’,” tambah Anggani. Kebutuhan individual anak mendapat perhatian dalam konteks taman. Lingkungan pun harus menyenangkan dan dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. “Jadi misalnya, bila salah satu pembiasaan yang diberikan adalah latihan ke toilet, maka kamar mandi harus bersih dan terang sehingga tidak menakutkan anak. Bak cuci tangan, misalnya, harus sesuai dengan tinggi tubuh anak,” tambah Anggani. “Yang juga harus dituntut orangtua pada taman bermain adalah laporan kemajuan individual.” Sedangkan menurut Rifameutia, taman bermain yang baik adalah yang selalu memberikan laporan untuk segala kegiatannya. Misalnya, mereka mengenalkan bentuk bulat, maka mereka akan memberikan laporan apa saja yang mereka lakukan untuk mengenalkan anak pada bulatan. “Laporan ini tidak saja yang sifatnya berkala, tetapi di setiap kegiatan. Dengan begitu orangtua bisa memantau kurikulum yang mereka jalankan. Ini penting sekali mengingat taman bermain tidak di bawah pengawasan pemerintah,” jelas Rifameutia. Menurut Direktur Pendidikan Dini Usia (Padu) Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas Gautama, izin penyelenggaraan taman bermain ada di Departemen Sosial. Tentang banyaknya taman bermain yang menetapkan biaya sangat mahal untuk ukuran rata-rata orang Indonesia, Gautama mengakui hal itu memang ada. Menurut pantauannya, hal itu karena alat peraga biasanya dibeli dari luar negeri. Belum lagi ada layanan gizi, kesehatan, tempat bermain dan alat bermain yang lengkap. “Tetapi, sebenarnya yang tidak mahal juga ada. Contohnya di Jawa Tengah, ada Padu yang biaya pendidikannya murah karena hampir semua alat sarananya dibuat sendiri oleh pengelolanya,” jelas Gautama. Akhirnya semua kembali kepada orangtua-karena para balita itu belum bisa memilih-mau sekadar gaya, ikut-ikutan trend, atau memang mencari taman bermain yang memang cocok dengan kebutuhan anak. (ARN/TRI/NMP)Kompas. Share this: http://babyorchestra.wordpress.com/2011/08/17/perlukah-bayi-bersekolah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar