wonderfull cha

wonderfull cha
anak shalehah, cerdas dan lembut hati

Senin, 10 September 2012

Perlukah BAYI bersekolah???

MEMANG agak sulit mencari jumlah pasti berapa angka pertumbuhan bisnis taman bermain di Jakarta, apalagi di Indonesia. Meskipun begitu, bila kita agak sedikit menaruh perhatian, secara kasat mata jumlahnya terus bertambah. Kesan ini diperkuat oleh penjelasan Melania Hamdan, Ketua Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika yang memiliki taman bermain Tutor Time untuk usia 1-6 tahun di Kemang dan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tahun ini, tiba-tiba permintaan mendapatkan wara laba taman bermain yang berpusat di Florida, Amerika Serikat, ini meningkat. Lokasi yang baru berdiri tahun ini ada di Bandung, Puri Indah, Pondok Indah, dan akan segera di Pluit, Jakarta Utara. Baru sebulan dibuka, sudah 17 anak mendaftar di Tutor Time Pondok Indah. “Mungkin karena ekonomi booming lagi sehingga yang berminat pada taman bermain seperti ini meningkat. Ini juga karena keinginan orangtua memberikan yang terbaik untuk anaknya,” kata Melania. Sependapat dengan pengamatan Melania adalah Anggani Sudono. Praktisi dan pengamat pendidikan ini mengatakan, munculnya taman-taman bermain dengan pesat belakangan ini karena permintaan masyarakat. Begitu juga dengan taman bermain yang menawarkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Dra Tjut Rifameutia U Ali-Nafis, MA, psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, melihat semakin banyaknya pasangan muda yang dua-duanya bekerja dan hubungan dengan lingkungan sekitar yang tidak akrab seperti di kota-kota besar, membuat taman bermain menjadi kebutuhan pasangan muda. “Itu peluang bisnis, namun dalam menjalankan bisnis sebaiknya yayasan menjalankannya dengan serius dan benar. Misalnya, bila ingin menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, gunakan pengajar yang bisa berbicara Inggris dengan benar dan baik. Jika bahasa Inggris hanya sebagai daya tarik dan untuk gaya-gayaan, hal itu justru akan merusak kemampuan berbahasa anak,” jelas Rifameutia. *** SALAH satu daya tarik yang banyak ditawarkan taman bermain saat ini adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar. Alasan orangtua umumnya karena mereka ingin mempersiapkan anaknya sedini mungkin menghadapi masa depan. Masa depan lalu diterjemahkan antara lain dengan sedini mungkin menguasai bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris (baca juga halaman 13). Keinginan itu barangkali tidak berlebihan karena setiap hari kita memang dicekoki berbagai jargon seputar globalisasi: Pasar bebas, AFTA, saluran MTV, film Hollywood, makanan mulai dari steak sampai burger. Bahkan, percakapan sehari-hari pun terasa kurang keren bila tidak menyisipkan bahasa Inggris, tidak peduli apakah pemilihan kalimat atau katanya tepat atau tidak. Karena itu, bukanlah hal aneh bila anak-anak yang dimasukkan ke taman bermain itu tidak selalu berasal dari keluarga yang bisa berbahasa Inggris. Seperti dikatakan Cynthia Moeljono, koordinator sekolah Tutor Time Pondok Indah, ada orangtua yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris menyekolahkan anaknya di Tutor Time yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, baik itu keluarga Indonesia maupun warga asing yang bekerja di sini. “Tetapi, tidak apa-apa, karena anak belajar melalui bermain,” kata Cynthia. Anggani Sudono yang mengajar di Jakarta International School di Jakarta Selatan dari tahun 1964-1990 mengatakan, memang ada hasil penelitian yang menyebutkan makin dini anak diperkenalkan dengan bahasa semakin cepat anak menguasai. Akan tetapi, secara prinsip ia lebih memilih anak menguasai bahasa ibunya dengan baik sebelum diperkenalkan pada bahasa lain. Anggani berpendapat, hal itu penting supaya anak tidak mengalami “kebingungan bahasa” yang akan terbawa sampai besar karena tiap bahasa memiliki logikanya sendiri. Bila memang orangtua memutuskan memasukkan anaknya sejak dini di taman bermain yang menggunakan pengantar bahasa Inggris, sekolah maupun orangtua harus konsisten menggunakan kedua bahasa itu. “Jangan dicampur-campur, misalnya dengan bilang ‘Ini red book,’” jelas Anggani. Logika berbahasa ini bisa mempengaruhi anak sampai ke usia lebih lanjut, artinya mungkin saja anak bisa mengucapkan kata-kata bahasa Inggris dengan baik dan tampak mampu menyusun kalimat berbahasa Inggris, tetapi logika berbahasanya tidak mengikuti logika bahasa Inggris. Hal yang sama juga bisa terjadi pada bahasa Indonesianya. Padahal, seseorang dinilai dari kemampuannya berkomunikasi. Menurut Anggani, bila sekolah sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris, maka orangtua di rumah harus aktif membantu anaknya. Misalnya, menentukan satu waktu tertentu dalam sehari sebagai saat berbahasa Inggris dan anak menyadari saat itu ia sedang berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Orangtua juga bisa membantu membacakan buku cerita berbahasa Inggris. “Tetapi, saat tiba berbahasa Indonesia, berkomunikasilah dengan bahasa Indonesia yang benar dan anak tahu bahwa dia sedang berkomunikasi dalam bahasa Indonesia,” tambah Anggani yang juga menjadi anggota Badan Pembina Akademik Perguruan Islam Al Izhar di Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sedangkan Rifameutia mengatakan, anak memang memiliki potensi belajar bahasa yang luar biasa, bahkan mampu menguasai tiga bahasa sekaligus. Namun, syaratnya saat mengenalkan sebuah bahasa, harus konsisten menggunakan bahasa itu setiap berkomunikasi dengan anak. “Pemakaian bahasa itu pun harus benar,” tambah Rifameutia. Selain itu, jangan menekankan sisi kognitif. “Misalnya, ‘Merah itu bahasa Inggrisnya red.’ Itu salah sama sekali.” *** SEBENARNYA ada hal-hal lain yang lebih penting yang harus diperhatikan orangtua ketika memilih taman bermain, yaitu mencocokkan antara tujuan orangtua memasukkan anak ke taman bermain dan fasilitas yang disediakan taman bermain bersangkutan. “Seberapa mendesak anak dimasukkan ke taman bermain dan pada usia berapa, sangat tergantung dari orangtua. Jika orangtua merasa tidak bisa memberikan stimulus (rangsangan) untuk perkembangan anaknya, dia bisa memasukkan anaknya ke taman bermain. Namun, jika orangtua mampu memberikan sendiri stimulus itu, maka tidak terlalu mendesak memasukkan anak ke taman bermain. Anak yang diasuh sendiri oleh orangtuanya bisa berkembang sama baiknya dengan anak yang dimasukkan ke taman bermain,” kata Rifameutia. Kelebihan anak yang dimasukkan ke taman bermain sejak dini adalah kemampuan bersosialisasi yang lebih cepat dibandingkan anak yang diberi stimulus hanya oleh orangtuanya di rumah saja. “Namun, bukan berarti anak yang dipegang sendiri oleh orangtuanya tidak bisa mengejar kemampuan itu. Hanya pada awalnya saja anak lulusan taman bermain lebih cepat bersosialisasi,” tambah Rifameutia. Di tengah belantara tawaran dan iklan taman bermain, orangtua perlu hati-hati memilih. Jangan hanya melihat bentuk fisik bangunan dan fasilitas, tetapi yang lebih penting bagaimana para “guru” di taman bermain “mengajar” anak-anak balita itu. Kelompok bermain yang baik menurut Anggani adalah yang memberikan program sesuai kebutuhan anak. Pada taman bermain penekanannya adalah pembiasaan kegiatan sehari-hari misalnya berlatih menggunakan toilet, duduk pada saat makan, mencuci tangan sebelum makan, dan berbagai pembiasaan lain. “Pada usia 2-3 tahun, fasilitator tidak menuntut anak-anak agar bisa ini-itu. Yang penting dia bisa dekat dengan anak sehingga anak merasa aman, lalu misalnya anak-anak bisa bilang ketika ingin kencing,” tutur Anggani. Beberapa syarat yang harus dipenuhi taman bermain seperti yang muncul dalam pertemuan World Forum on Early Childhood Education di Selandia Baru yang diikuti Anggani baru-baru ini antara lain taman bermain harus menjamin peningkatan kesehatan dan keamanan anak. Pelayanan diberikan dalam kelompok kecil dengan rasio ideal satu fasilitator untuk lima anak. Tugas utama taman bermain adalah pengasuhan dan pendidikan yang harus dilakukan konsisten. “Artinya, tidak bisa sekarang fasilitator mengatakan sebelum makan harus cuci tangan, lain kali tidak apa-apa bila anak tidak cuci tangan,” tambah Anggani. Yang perlu diperhatikan juga adalah pengasuhan harus sesuai kebutuhan anak, misalnya disesuaikan dengan umur anak. Memberi pelatihan linguistik dan kebudayaan yang berkesinambungan, yaitu menggunakan bahasa yang benar, mengucapkan terima kasih bila menerima sesuatu. “Jangan gunakan ‘bahasa bayi’,” tambah Anggani. Kebutuhan individual anak mendapat perhatian dalam konteks taman. Lingkungan pun harus menyenangkan dan dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. “Jadi misalnya, bila salah satu pembiasaan yang diberikan adalah latihan ke toilet, maka kamar mandi harus bersih dan terang sehingga tidak menakutkan anak. Bak cuci tangan, misalnya, harus sesuai dengan tinggi tubuh anak,” tambah Anggani. “Yang juga harus dituntut orangtua pada taman bermain adalah laporan kemajuan individual.” Sedangkan menurut Rifameutia, taman bermain yang baik adalah yang selalu memberikan laporan untuk segala kegiatannya. Misalnya, mereka mengenalkan bentuk bulat, maka mereka akan memberikan laporan apa saja yang mereka lakukan untuk mengenalkan anak pada bulatan. “Laporan ini tidak saja yang sifatnya berkala, tetapi di setiap kegiatan. Dengan begitu orangtua bisa memantau kurikulum yang mereka jalankan. Ini penting sekali mengingat taman bermain tidak di bawah pengawasan pemerintah,” jelas Rifameutia. Menurut Direktur Pendidikan Dini Usia (Padu) Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Depdiknas Gautama, izin penyelenggaraan taman bermain ada di Departemen Sosial. Tentang banyaknya taman bermain yang menetapkan biaya sangat mahal untuk ukuran rata-rata orang Indonesia, Gautama mengakui hal itu memang ada. Menurut pantauannya, hal itu karena alat peraga biasanya dibeli dari luar negeri. Belum lagi ada layanan gizi, kesehatan, tempat bermain dan alat bermain yang lengkap. “Tetapi, sebenarnya yang tidak mahal juga ada. Contohnya di Jawa Tengah, ada Padu yang biaya pendidikannya murah karena hampir semua alat sarananya dibuat sendiri oleh pengelolanya,” jelas Gautama. Akhirnya semua kembali kepada orangtua-karena para balita itu belum bisa memilih-mau sekadar gaya, ikut-ikutan trend, atau memang mencari taman bermain yang memang cocok dengan kebutuhan anak. (ARN/TRI/NMP)Kompas. Share this: http://babyorchestra.wordpress.com/2011/08/17/perlukah-bayi-bersekolah/

anak usia BATITA perlukah pre school??

Akhir-akhir ini menyekolahkan anak di sekolah taman bermain atau play group atau Pre-School memang sedang menjadi trend. Selain itu para orangtua ingin lebih cepat mengetahui minat dan bakat anak sejak usia dini melalui pre-school mskipun sekolah itu bisa kita ciptakan sendiri di rumah. Bunda romi sapaan akrab Psikolog terkenal Dr Rose Mini mengatakan, hal itu bisa dilakukan jika orangtua terus kreatif mencari informasi seputar apa saja yang diajarkan atau diberikan pada anak dalam Pre-School. Sebab, memasukkan anak ke Pre-School justru bisa jadi membuat anak Anda jenuh. Oleh karenanya jika memang benar-benar terpaksa si kecil harus dimasukkan ke pre-school berikut tips yang harus diperhatikan para orangtua. 1. Cari sekolah yang sesuai untuk anak 2. Pilih sekolah (pre-school) yang dapat mengoptimalkan kemampuan anak 3. Jangan memaksakan anak untuk belajar. Namun, cobalah untuk mencari berbagai permainan yang dapat membantu mengembangkan kemampuan anak, dan sesuikan dengan gaya berpikir anak 4. Jalin komunikasi dengan pihak sekolah/guru untuk mengetahui perkembangan anak di sekolah. Bunda Romi berpesan jika orangtua telah menemukan sekoah yang tepat perlu diingat bahwa tanggung jawab sepenuhnya tetap berada di tangan orangtua. Bukan berarti orangtua lepas tangan setelah anak disekolahkan di Pre-School. Namun jika memang sang ibu memiliki waktu yang cukup luang, Bunda romi menyarankan sebaiknya Pre-School diciptakan di rumah, sehingga pengawasan dan perkembangan anak bisa dipantau langsung oleh sang ibu. “Kalau Pre-School bisa disediakan di rumah, untuk apa mencari di luar. Karena lebih baik dibuat sekolah sendiri di rumah. Karena bahayanya, terkadang orangtua jadi lepas tanan jika anak disekolahkan di luar. Padahal pada dasarnya setiap anak cerdas, sehingga bisa dilatih di rumah,” katanya. Wanita berambut pendek ini pun menyarankan, jika ibu ingin mendidik anaknya di rumah tak perlu repot menyiapkan berbagai alat peraga yang akan dijadikan stimulan untuk anak mengenal atau mengetahui sesuatu.Karena apapun yang ada di rumah bisa digunakan untuk menstimulasi anak. “Kita bisa menggunakan gelas, untuk mengajari anak tentang bunyi-bunyian suatu nada, jadi tak perlu biaya besar untuk membeli alat peraga dalam mendidik anak,”katanya menerangkan. Selain itu, story telling atau bercerita tidak hanya dengan kata-kata melainkan dengan gerak tubuh ternyata bisa lebih cepat diserap oleh anak ketimbang hanya dengan kata-kata tanpa ekspresi. “Membacakan buku cerita pada anak dengan ekspresi suara tiruan dan gerak tubuh yang lucu, bisa jadi membuat anak Anda tertarik mempelajari sesuatu dari buku cerita,” katanya. Jadi, cara mana yang Anda pilih untuk mengetahui minat dan bakat anak di usia dini?

Membiasakan anak minum dari gelas

Memberi minum bayi dengan menggunakan botol dan dot memang praktis. Bentuk dot yang menyerupai puting sang ibu membuat bayi merasa lebih familier, layaknya sedang menyedot ASI. Risiko air tumpah pun lebih minim sehingga Bunda tak perlu repot-repot mengelapnya. Namun, sebaiknya cara ini hanya diterapkan pada bulan-bulan awal. Memasuki usia 6 bulan, Bunda bisa mulai membiasakan anak minum dengan gelas. Pasalnya, menurut para ahli, pengisapan dot yang terlalu sering akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bentuk gigi si kecil—terutama gigi atas yang akan terdorong sedikit lebih maju. Selain itu, jika botol digunakan sebagai pengantar tidur, asupan kalori untuknya pun akan lebih banyak dari normal dan bisa menjadi pencetus obesitas. Inilah mengapa pentingnya membiasakan anak minum dengan gelas. Caranya bisa setahap demi setahap agar anak tidak terlalu kaget. Bunda bisa mulai dengan membiasakan anak minum dengan gelas bergagang yang dilengkapi corong untuk meminimalisir air yang tumpah. Namun, fase ini juga jangan dijalankan terlalu lama karena balita punya kecenderungan untuk menggigit-gigit corong tersebut sehingga akan merusak pertumbuhan giginya. Menggunakan gelas yang dilengkapi sedotan spiral warna-warni juga bisa jadi pilihan. Kemudian, ketika ia sudah terbiasa menggenggam gelas, Bunda bisa beralih dengan membiasakan anak minum dengan gelas yang dilengkapi celah untuk minum di tepiannya, yang bisa dibuka-tutup—semacam gelas untuk minum kopi atau teh hangat. Setelah itu, barulah Bunda bisa mulai membiasakan anak minum dengan gelas biasa. Terus dampingi dia agar Bunda bisa lebih sigap ketika ia menumpahkan air di dalam gelas tersebut. Proses pembelajaran ini tak hanya membutuhkan keterampilan si kecil, tapi juga kesabaran Bunda. Jika ia rewel dan menumpahkan minumannya, Bunda jangan lekas putus asa dan memberikannya botol lagi. Terus semangati dia untuk membiasakan diri minum dengan gelas, tanamkan dalam dirinya bahwa itu merupakan proses pertumbuhan sehingga ia akan termotivasi untuk membuktikan bahwa dirinya sudah mulai tumbuh besar.

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Meskipun pemerintah mencanangkan wajib belajar 9 tahun yang baru dimulai pada usia SD (6 tahun), sebenarnya masa-masa sebelum itu (usia baru lahir hingga 6 tahun) merupakan masa emas dalam pertumbuhan anak. Perkembangan otak mereka bahkan dikatakan dapat mencapai 80% pada masa ini. Karena itu, pentingnya pendidikan anak usia dini perlu Bunda sadari agar Bunda dapat memanfaatkan masa emas dalam pertumbuhan si kecil. Pendidikan anak usia dini terutama menekankan pada kemampuan anak untuk membangun hubungan emosional yang terdiri atas tiga pilar utama. Hubungan dengan sesama (interpersonal), hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), serta hubungan dengan Tuhan (transendental). Segitiga tersebut akan membentuk karakter anak yang tercermin dari cara ia berperilaku dan berpikir hingga dewasa kelak. Selain itu, pendidikan anak usia dini juga meliputi tahap perkembangan fisik, yaitu pelatihan koordinasi motorik kasar maupun halus; serta pengasahan kecerdasan, seperti daya pikir dan kreativitas. Dengan pendidikan usia dini, anak-anak juga akan belajar mengembangkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Begitu pentingnya pendidikan anak usia dini, kini semakin banyak negara di berbagai belahan dunia yang menerapkannya demi melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun, bukan berarti Bunda harus mendaftarkan si kecil di sekolah yang mahal. Pendidikan dini juga bisa Bunda terapkan di rumah, asalkan Bunda memiliki waktu yang cukup dan giat mencari berbagai alternatif cara untuk menerapkan pendidikan dini bagi sang buah hati. Langkah terpenting dalam membimbing si kecil adalah dengan mengenali potensinya terlebih dulu. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Howard Gardner, setiap anak memiliki banyak bentuk kecerdasan dengan porsi yang berbeda-beda. Kecerdasan ini terdiri atas delapan jenis utama, yaitu musik, kinestetik, matematik, linguistik, spasial, natural, interpersonal, dan intrapersonal. Setelah Bunda mengenali bidang mana yang sekiranya paling dikuasai anak, Bunda pun akan bisa membantu mengoptimalkannya.

Catatan ICha 15 : 1 th 10 bulan yang menggemaskan

Buah hati bunda sudah beranjak makin besar. Bajunya sudah pada sempit semua, kalau cari baju harus yang umur 3 tahunan. Ketika jalan-jalan keluar, banyak yang bertanya berapa tahun bu?? dikiranya sudah 3 tahunan..padahal masih 1 tahun lewat... kosakatanya sudah makin banyak, banyak yang menilai icha cepat dalam linguistnya. Alhamdulillah. Sudah suaa bertanya, apa tuh?? ada apa? mana ayah? mau kemana? ini daftar kosa kata icha : 1. ayah 2. bunda 3. mau 4. jilbab 5. amin 6. mbah 7. nenek 8. kakek 9. abang 10. kakak 11. icha 12. ibu 13. salam 14. dada 15. mamam 16. pipis 17. gigi 18. kc mata 19. aunty 20. mimi 21. umi 22. ndak 23. iya 24. mandi 25. air 26. akbar 27. pesawat 28. kucing 29. no no 30. sakit 31. nyamuk 32. bobok 33. motor 34. yuuk 35. eek 36. minum 37. buka 38. tutup 39. bismillah 40.kaki 41. ifah 42. taza 43. kia 44. aak 45. nia 46.cicak 47. main 48. a ba ta 49. satu 50. dua 51. lima 52. baca 53. ...dll.. subhanallah..tak terasa ya nak sudah banyak kosakata ica..kalau di fikir-fikir, kata yang icha kuasai adalah Kata Praktikal..artinya ketika sedang beraktifitas tertentu kita sebutkan nama aktifitasnya dan kata-kata pendukung aktifitas tersebut. atau ketika mengenalkan jilbab, saya ciptakan lagu yang mudah sambil mengiringi mengenakan jilbab untuknya...jadinya dia suka sekali lagu itu, pun ketika dia tidak sedang pakai jilbab kita nyanyikan lagu itu, spontan tangannya akan pegang kepala sambil bergoyang centil he he...mau tahu lagunya??? Jilbab ICha ( lirik : topi saya Bundar ) Jilbab Icha Cantik Jilbab Icha Manis Kalau pakai jilbab Icha makin cantik

Mengukur Kecerdasan Motorik Anak

Mengikuti setiap perkembangan anak, sekecil apapun, menimbulkan kebahagiaan tersendiri bagi orangtua. Bunda tentu tidak ingin melewatkan hal-hal baru yang dikuasai si kecil, dan ingin memberikan yang terbaik bagi mereka, karena kualitas masa depan anak ditentukan oleh perkembangan yang optimal sejak kecil, seperti pertumbuhan fisik, perkembangan motorik, kognitif, dan psikososial. Setiap parameter perkembangan tersebut memiliki tahapan-tahapan sendiri sesuai dengan usia, begitu juga dengan perkembangan motorik mereka. Dalam mengukur kecerdasan motorik anak, pertama-tama Bunda harus bisa membedakan antara motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang menggunakan anggota tubuh besar yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri, seperti kemampuan duduk, menendang, berlari, dan sebagainya. Sedangkan motorik halus berkaitan dengan gerakan yang menggunakan jari tangan, yang dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan berlatih, seperti kemampuan memindahkan benda, menyusun balok, menulis, dan sebagainya. Mengukur kecerdasan motorik ini bisa dilakukan sambil bermain bersama si kecil, namun pastikan Bunda memerhatikan detail-detail kecil yang dilakukan anak. Secara umum, perkembangan motorik anak di usia satu dan dua tahun ditandai dengan kemampuan merangkak, berdiri dan berjalan beberapa langkah, merangkak di tangga, cepat-cepat duduk agar tidak jatuh, menarik dan mendorong benda, mengambil benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk, menyusun balok, belajar memakai kaos kaki sendiri, bermain dengan remote control, dan mengupas pisang sendiri. Seiring dengan bertambahnya usia, kecerdasan motorik anak pun mengalami peningkatan. Di rentang usia dua dan tiga tahun, anak sudah mulai bisa melompat, berjalan mundur, jinjit, menendang bola, memanjat meja, menaiki tangga, mencoret dengan satu tangan, memegang pensil, menggambar garis tak beraturan, belajar menggunting, memakai dan mengancingkan baju sendiri. Memasuki usia tiga dan empat tahun, anak mulai bisa melompat dengan satu kaki, berdiri dengan satu kaki, mengendarai sepeda, menggambar orang-orangan, mencuci tangan sendiri, membentuk benda dari lilin, membuat garis lurus dan lingkaran yang cukup rapi. Di rentang usia empat dan lima tahun, Bunda bisa mengukur kecerdasan motorik anak dengan memperhatikan apakah dia sudah bisa menuruni tangga dengan cepat, berjalan mundur dengan seimbang, melempar dan menangkap bola dengan mantap, menggunting dengan cukup baik, melipat amplop, membawa gelas tanpa menumpahkan isinya dan memasukkan benang ke dalam lubang besar. Dengan mencatat setiap perkembangan motorik anak, Bunda bisa langsung mengambil langkah antisipasi jika di usia tertentu anak belum bisa melakukan sesuatu yang seharusnya sudah bisa dilakukan anak di usia tersebut.